Oleh:
Mochammad Faizal Rachman
Mochammad Faizal Rachman
(Mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam UPI 2014)
Konsumsi merupakan hal yang selalu
dilakukan oleh makhluk hidup, khususnya manusia. Namun dalam berkonsumsi, tentu
manusia terikat dengan dengan hukum syar'i, mulai dari apa saja yang boleh
dikonsumsi, batasan-batasan konsumsi, sampai etika berkonsumsi pun semua sudah
diatur dalam Islam.
Sebagai agama yang sangat
memperhitungkan etika dalam setiap perbuatan, Islam memiliki konsep Huquq
dalam berkonsumsi sebagai bentuk dari kegiatan ekonomi. Huquq berarti
individu memperhitungkan kepentingan lain disamping kepentingan dirinya,
seperti Tuhan, sosial, dan lingkungan. Konsumsi yang telah syariat atur, bukan
hanya halal (boleh dimakan) namun juga thoyyib (baik bagi tubuh).
Karena apa yang telah syariat tetapkan hakikatnya adalah untuk kemashlahatan
umat manusia. Suatu kaidah fiqih berbunyi:
"Haitsu ma syar'u watakunu
mashlahat"
"Dimana ada Syariat, disitu ada
mashlahat"
Alloh swt. berfirman:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$2 wur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4
¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇËÉÑÈ
"Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." [Q.S.
Al-Baqoroh: 208]
Dalam
kaidah fiqih dan ayat tersebut, umat Islam diperintahkan untuk patuh terhadap
syariat yang telah Alloh tetapkan, tanpa harus ada yang diragukan. Karena
syariat menjamin terhadap kemashlahatan, dan kemashlahatan akan terwujud jika
umat Islam menegakkan syariat, pun halnya dalam berkonsumsi.
Ada
beberapa aturan yang syariat tetapkan kepada manusia dalam berkonsumsi. Pertama,
konsumsi bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dunia, tapi juga untuk
memenuhi kebutuhan akhirat. Sebagai manusia yang tidak bisa lepas dari makan
dan minum, seharusnya hal ini diperhatikan dan disadari bahwa apa yang kita
makan dan apa yang kita minum itu bukan hanya untuk memenuhi rasa lapar dan
haus saja, tetapi juga ada keterikatan dengan hubungan kita terhadap Alloh,
yaitu melalui relalisasi ibadah. Karena pada hakikatnya kita melakukan
aktivitas makan dan minum adalah untuk beribadah, dan ibadah tidak akan
terwujud jika kita tidak melakukan aktivitas makan dan minum.
Alloh swt. berfirman:
tA$s%ur _|yJø9$# `ÏB ÏmÏBöqs% tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. (#qç/¤x.ur Ïä!$s)Î=Î/ ÍotÅzFy$# öNßg»oYøùtø?r&ur Îû Ío4quptø:$# $u÷R9$# $tB !#x»yd wÎ) ×|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB ã@ä.ù't $£JÏB tbqè=ä.ù's? çm÷ZÏB ÛUtô±our $£JÏB tbqç/uô³n@ ÇÌÌÈ
"Dan berkatalah pemuka-pemuka yang
kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak)
dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia: "(Orang) ini
tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, Dia Makan dari apa yang kamu makan,
dan meminum dari apa yang kamu minum." [Q.S. Al-Mu'minun: 33]
Kedua,
konsumsi bukan hanya halal, tetapi juga thoyyib. Luar
biasanya Islam adalah memperhatikan sesuatu sampai sedetail mungkin. Disamping
halal, apa yang kita konsumsi juga harus aman bagi tubuh kita. Alloh swt.
berfirman:
$ygr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ wur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4
¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ
"Hai sekalian manusia, makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu." [Q.S. Al-Baqoroh: 168]
Jika
ada makanan yang halal, tentu ada makanan yang haram (dilarang) untuk
dikonsumsi oleh manusia. Alloh swt. berfirman:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosqè%öqyJø9$#ur èptÏjutIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur @x.r& ßìç7¡¡9$# wÎ) $tB ÷Läêø©.s $tBur yxÎ/è n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4
öNä3Ï9ºs î,ó¡Ïù 3 ÇÌÈ
"Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan
bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib
dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan." [Q.S.
Al-Maidah: 3]
Selain
syariat mengharamkan, sebenarnya ada alasan-alasan ilmiah yang membuat
makanan-makanan tersebut haram untuk dikonsumsi, salah satunya adalah daging
babi. Kita tahu bahwa babi merupakan hewan yang jorok, sehingga hinggaplah
cacing-cacing pita dalam tubuhnya. Jika daging babi itu dimakan oleh manusia,
cacing pita akan tetap menempel pada daging babi meskipun digoreng dalam minyak
dengan suhu yang sangat tinggi, cacing pita tetap tidak akan mati dan akan
tetap menempel pada daging babi. Alhasil, jika daging babi dimakan oleh
manusia, maka cacing pita akan menjalar kedalam lapisan organ-organ tubuh
manusia dan hinggap disana. Sehingga cacing pita tersebut membahayakan manusia,
terlebih jika hinggap di organ-prang yang sangat vital seperti otak. Itu
merupakan salah satu dari sekian banyak
alasan mengapa makanan-makanan tersebut diharamkan.
Namun,
bukan berarti jika alasan-alasan tersebut tidak ada, lantas makanan haram
menjadi halal. Makanan yang telah Alloh tetapkan haram bagaimanapun zatnya
tetap haram, tidak akan menjadi halal. Daging babi meskipun disembelih dengan
nama Alloh, tetap haram dan tidak akan menjadi halal. Kecuali jika seseorang
menghadapi keadaan darurat. Misalkan ada orang yang sekarat karena kelaparan.
Tidak ada makanan yang bisa dimakan kecuali daging babi. Maka orang tersebut
boleh memakan daging babi yang ada, dengan batasan sampai kebutuhan laparnya
terpenuhi, karena kondisi yang dialami adalah keadaan darurat. Kaidah fiqih
berbunyi:
"Adh
dhorurotu tubihul mahdhurot"
"Keadaan
darurat membolehkan hal yang dilarang."
Ketiga,
konsumsi tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan boros. Tidak sedikit
orang tua menyuruh anaknya agar mereka makan yang banyak, bila perlu tambah
lagi. Namun, sebenarnya hal tersebut tidak baik bahkan bertentangan dengan
syara. Jika ditinjau dari perspektif Islam, jelas Alloh melarang manusia untuk
melakukan konsumsi secara berlebihan. Alloh swt. berfirman:
* ûÓÍ_t6»t tPy#uä (#räè{ ö/ä3tGt^Î yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uõ°$#ur wur (#þqèùÎô£è@ 4
¼çm¯RÎ) w =Ïtä tûüÏùÎô£ßJø9$# ÇÌÊÈ
"Wahai anak cucu Adam! pakailah
pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan." [Q.S. Al-A'rof: 31]
Dan
Alloh melarang manusia bersikap boros dalam berkonsumsi. Bahkan Alloh
menyatakan bahwa pemboros adalah saudara setan. Alloh swt. berfirman:
wur öÉjt7è? #·Éö7s? ÇËÏÈ ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# (
tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ
"Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya." [Q.S. Al-Isro: 26-27]
Tidakkah
kita berpikir, diluar sana banyak umat muslim yang sangat membutuhkan makanan
untuk memenuhi kebutuhan primernya (Dharuriyyat)), bukan sekunder (Hajiyyat))
apalagi tersier (Tahsiniyyat)). Bahkan sedemikian lapar dan hausnya
mereka sampai memakan tumbuhan seadanya dan meminum air seni hewan. Artinya,
ketika kita berlebih-lebihan dan boros terhadap makanan yang kita konsumsi,
maka kita sudah berbuat dzolim terhadap diri kita sendiri dan orang
lain. Naudzubillahimindzalik.
Keempat,
konsumsi hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan. Harus dibedakan antara
kebutuhan dan keinginan. Sebab jika tidak, boleh jadi apa yang kita maksud
keinginan menjadi kebutuhan, sehingga terjadi kesalahpahaman antara kebutuhan
dan keinginan. Yang pada akhirnya munculah istilah-istilah dan
perilaku-perilaku yang mencederai arti kebutuhan itu sendiri. Sebenarnya
keingininan tidaklah bertentangan dengan syariat Islam, namun tetap harus
dikendalikan. Karena jika tidak, jelas keinginan tersebut akan bertentangan dengan syariat. Sehingga yang
terjadi jika keinginan tidak dikendalikan adalah, apa yang dimaksud kebutuhan
sekunder akan menjadi kebutuhan primer, bahkan kebutuhan tersier akan
dianggap primer.
Jika
hal itu terjadi, maka landasan kita berkonsumsi bukan sebagai bentuk ketakwaan,
tapi rasionalitas yang akan mengotori hati dan iman kita. Padahal Alloh telah
mengingatkanagar kita tidak terjebak kedalam nafsu dunia. Alloh swt. berfirman:
z`Îiã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# ÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# ÆÏB É=yd©%!$# ÏpÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3
Ï9ºs ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# (
ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ
"Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia,
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." [Q.S. Ali
Imron:14]
Maka
sebelum kita terjebak dalam cara berkonsumsi yang salah, perhatikan empat
aturan yang telah syariat tetapkan. Karena apa yang syariat tetapkan adalah
mutlak kebenarannya (maqoshid syariah), berasal dari Sang Pencipta, yang
sangat tahu dan paham apa yang benar-benar hambanya butuhkan. Diri kita sebagai
pelaku konsumsi pun harus sadar dan paham, bahwa hakikat kita melakukan
kegiatan konsumsi adalah sebagai wasilah dalam beribadah kepada Alloh dan
sebagai wujud ketakwaan atas apapun yang telah Alloh berikan.