Senin, 18 Januari 2016

KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Oleh:
Mochammad Faizal Rachman
(Mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam UPI 2014)




Konsumsi merupakan hal yang selalu dilakukan oleh makhluk hidup, khususnya manusia. Namun dalam berkonsumsi, tentu manusia terikat dengan dengan hukum syar'i, mulai dari apa saja yang boleh dikonsumsi, batasan-batasan konsumsi, sampai etika berkonsumsi pun semua sudah diatur dalam Islam.      
Sebagai agama yang sangat memperhitungkan etika dalam setiap perbuatan, Islam memiliki konsep Huquq dalam berkonsumsi sebagai bentuk dari kegiatan ekonomi. Huquq berarti individu memperhitungkan kepentingan lain disamping kepentingan dirinya, seperti Tuhan, sosial, dan lingkungan. Konsumsi yang telah syariat atur, bukan hanya halal (boleh dimakan) namun juga thoyyib (baik bagi tubuh). Karena apa yang telah syariat tetapkan hakikatnya adalah untuk kemashlahatan umat manusia. Suatu kaidah fiqih berbunyi:
"Haitsu ma syar'u watakunu mashlahat"
"Dimana ada Syariat, disitu ada mashlahat"

Alloh swt. berfirman:


$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷Š$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$Ÿ2 Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇËÉÑÈ  

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." [Q.S. Al-Baqoroh: 208]

            Dalam kaidah fiqih dan ayat tersebut, umat Islam diperintahkan untuk patuh terhadap syariat yang telah Alloh tetapkan, tanpa harus ada yang diragukan. Karena syariat menjamin terhadap kemashlahatan, dan kemashlahatan akan terwujud jika umat Islam menegakkan syariat, pun halnya dalam berkonsumsi.
            Ada beberapa aturan yang syariat tetapkan kepada manusia dalam berkonsumsi. Pertama, konsumsi bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dunia, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan akhirat. Sebagai manusia yang tidak bisa lepas dari makan dan minum, seharusnya hal ini diperhatikan dan disadari bahwa apa yang kita makan dan apa yang kita minum itu bukan hanya untuk memenuhi rasa lapar dan haus saja, tetapi juga ada keterikatan dengan hubungan kita terhadap Alloh, yaitu melalui relalisasi ibadah. Karena pada hakikatnya kita melakukan aktivitas makan dan minum adalah untuk beribadah, dan ibadah tidak akan terwujud jika kita tidak melakukan aktivitas makan dan minum.
Alloh swt. berfirman:


tA$s%ur _|yJø9$# `ÏB ÏmÏBöqs% tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. (#qç/¤x.ur Ïä!$s)Î=Î/ ÍotÅzFy$# öNßg»oYøùtø?r&ur Îû Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# $tB !#x»yd žwÎ) ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB ã@ä.ù'tƒ $£JÏB tbqè=ä.ù's? çm÷ZÏB ÛUtô±our $£JÏB tbqç/uŽô³n@ ÇÌÌÈ  

"Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia: "(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, Dia Makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum." [Q.S. Al-Mu'minun: 33]

            Kedua, konsumsi bukan hanya halal, tetapi juga thoyyib. Luar biasanya Islam adalah memperhatikan sesuatu sampai sedetail mungkin. Disamping halal, apa yang kita konsumsi juga harus aman bagi tubuh kita. Alloh swt. berfirman:


$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ  

"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu." [Q.S. Al-Baqoroh: 168]

            Jika ada makanan yang halal, tentu ada makanan yang haram (dilarang) untuk dikonsumsi oleh manusia. Alloh swt. berfirman:


ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosŒqè%öqyJø9$#ur èptƒÏjŠuŽtIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur Ÿ@x.r& ßìç7¡¡9$# žwÎ) $tB ÷LäêøŠ©.sŒ $tBur yxÎ/èŒ n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºsŒ î,ó¡Ïù 3  ÇÌÈ  

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan." [Q.S. Al-Maidah: 3]
            Selain syariat mengharamkan, sebenarnya ada alasan-alasan ilmiah yang membuat makanan-makanan tersebut haram untuk dikonsumsi, salah satunya adalah daging babi. Kita tahu bahwa babi merupakan hewan yang jorok, sehingga hinggaplah cacing-cacing pita dalam tubuhnya. Jika daging babi itu dimakan oleh manusia, cacing pita akan tetap menempel pada daging babi meskipun digoreng dalam minyak dengan suhu yang sangat tinggi, cacing pita tetap tidak akan mati dan akan tetap menempel pada daging babi. Alhasil, jika daging babi dimakan oleh manusia, maka cacing pita akan menjalar kedalam lapisan organ-organ tubuh manusia dan hinggap disana. Sehingga cacing pita tersebut membahayakan manusia, terlebih jika hinggap di organ-prang yang sangat vital seperti otak. Itu merupakan  salah satu dari sekian banyak alasan mengapa makanan-makanan tersebut diharamkan.
            Namun, bukan berarti jika alasan-alasan tersebut tidak ada, lantas makanan haram menjadi halal. Makanan yang telah Alloh tetapkan haram bagaimanapun zatnya tetap haram, tidak akan menjadi halal. Daging babi meskipun disembelih dengan nama Alloh, tetap haram dan tidak akan menjadi halal. Kecuali jika seseorang menghadapi keadaan darurat. Misalkan ada orang yang sekarat karena kelaparan. Tidak ada makanan yang bisa dimakan kecuali daging babi. Maka orang tersebut boleh memakan daging babi yang ada, dengan batasan sampai kebutuhan laparnya terpenuhi, karena kondisi yang dialami adalah keadaan darurat. Kaidah fiqih berbunyi:

"Adh dhorurotu tubihul mahdhurot"
"Keadaan darurat membolehkan hal yang dilarang."

            Ketiga, konsumsi tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan boros. Tidak sedikit orang tua menyuruh anaknya agar mereka makan yang banyak, bila perlu tambah lagi. Namun, sebenarnya hal tersebut tidak baik bahkan bertentangan dengan syara. Jika ditinjau dari perspektif Islam, jelas Alloh melarang manusia untuk melakukan konsumsi secara berlebihan. Alloh swt. berfirman:


* ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#räè{ ö/ä3tGt^ƒÎ yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uŽõ°$#ur Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä tûüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÌÊÈ  

"Wahai anak cucu Adam! pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." [Q.S. Al-A'rof: 31]
            Dan Alloh melarang manusia bersikap boros dalam berkonsumsi. Bahkan Alloh menyatakan bahwa pemboros adalah saudara setan. Alloh swt. berfirman:


Ÿwur öÉjt7è? #·ƒÉö7s? ÇËÏÈ   ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# ( tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ  

"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." [Q.S. Al-Isro: 26-27]

            Tidakkah kita berpikir, diluar sana banyak umat muslim yang sangat membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan primernya (Dharuriyyat)), bukan sekunder (Hajiyyat)) apalagi tersier (Tahsiniyyat)). Bahkan sedemikian lapar dan hausnya mereka sampai memakan tumbuhan seadanya dan meminum air seni hewan. Artinya, ketika kita berlebih-lebihan dan boros terhadap makanan yang kita konsumsi, maka kita sudah berbuat dzolim terhadap diri kita sendiri dan orang lain. Naudzubillahimindzalik.

            Keempat, konsumsi hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan. Harus dibedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sebab jika tidak, boleh jadi apa yang kita maksud keinginan menjadi kebutuhan, sehingga terjadi kesalahpahaman antara kebutuhan dan keinginan. Yang pada akhirnya munculah istilah-istilah dan perilaku-perilaku yang mencederai arti kebutuhan itu sendiri. Sebenarnya keingininan tidaklah bertentangan dengan syariat Islam, namun tetap harus dikendalikan. Karena jika tidak, jelas keinginan tersebut akan  bertentangan dengan syariat. Sehingga yang terjadi jika keinginan tidak dikendalikan adalah, apa yang dimaksud kebutuhan sekunder akan menjadi kebutuhan primer, bahkan kebutuhan tersier akan dianggap primer.
            Jika hal itu terjadi, maka landasan kita berkonsumsi bukan sebagai bentuk ketakwaan, tapi rasionalitas yang akan mengotori hati dan iman kita. Padahal Alloh telah mengingatkanagar kita tidak terjebak kedalam nafsu dunia. Alloh swt. berfirman:


z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ  

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." [Q.S. Ali Imron:14]

            Maka sebelum kita terjebak dalam cara berkonsumsi yang salah, perhatikan empat aturan yang telah syariat tetapkan. Karena apa yang syariat tetapkan adalah mutlak kebenarannya (maqoshid syariah), berasal dari Sang Pencipta, yang sangat tahu dan paham apa yang benar-benar hambanya butuhkan. Diri kita sebagai pelaku konsumsi pun harus sadar dan paham, bahwa hakikat kita melakukan kegiatan konsumsi adalah sebagai wasilah dalam beribadah kepada Alloh dan sebagai wujud ketakwaan atas apapun yang telah Alloh berikan.
Postingan Lama Beranda